Membangun Budaya Sekolah

Qomaruzzaman, Bambang (2012) Membangun Budaya Sekolah. Cetakan pertama, 1 (I). Simbiosa Rekatama Media, Bandung. ISBN 978-979-3782-80-5

[img]
Preview
Text
Membangun Budaya Sekolah.pdf

Download (997kB) | Preview
Official URL: http:// www.simbiosarekatama.co.id

Abstract

Pendidikan karakter yang kini dijadikan orientasi semua lembaga pendidikan bukan hanya penghadiran mata pelajaran karakter, melainkan perlu didukung dengan sekolah yang memiliki budaya karakter. Kutipan dari tulisan Doni Koesoema menunjukkan bahwa kegagalan kantin kejujuran bukan karena program kantin kejujurannya yang keliru melainkan karena faktor pendukungnya yang tidak disediakan. Faktor pendukung itu adalah kultur kejujuran. Basis teorinya sangat mudah. Karakter hanya bisa dibangun melalui pembiasaan. Pengetahuan tentang baik buruk saja tidak mencukupi, karakter harus dibiasakan. Pembiasaan ini membutuhkan waktu yang lama, baik pada saat di depan pengawasan guru atau di luar itu. Namun, daya tahan seseorang untuk melakuan pembiasaan ditentukan dari daya dukung lingkungan. Misalnya, seorang guru bisa saja mengajari siswanya untuk tidak berkatakata “kasar”; pada saat di dalam kelas, pengajarannya itu berhasil. Namun begitu keluar dari kelas, ia bertemu dengan satpam atau tukang dagang yang mangkal di sekolah yang berkata-kata “kasar”. Hasilnya, siswa itu akan tetap berkata-kata kasar. Contoh lain, seorang guru mengajari siswanya mengenai pentingnya kerja keras. “Kerja keras menentukan kesuksesan!”, demikian ujar sang guru. Namun pada saat Ujian Nasional, siswa melihat dengan mata kepala sendiri sejumlah anak yang dibiarkan mencontek demi mendapatkan nilai tinggi. Saat itu, penanaman nilai kerja keras yang sudah diajarkan akan runtuh berantakan. Pembentukan karakter adalah relasional. Hal ini tidak akan pernah menjadi latihan individual yang terpisah, tetapi bersifat sosial. Pembentukan karakter di sekolah tidak terjadi di antara dua orang (seorang yang memiliki kemampuan teknis dalam pembentukan karakter dan orang lain yang belajar hanya dengan mendengarkan), tetapi juga sebagai proses keterlibatan terus-menerus kedua belah pihak sebagai anggota dari suatu komunitas. Pembentukan karakter berlangsung dalam interaksi sehari-hari di antara orang-orang. Secara akumulatif, semua mendidik semua. Kita membentuk diri dengan cara melakukan relasi dan dengan memberi teladan satu sama lain; kita ini selalu merupakan anggota komunitas tertentu yang membantu membentuk orang lain – yang beberapa diantaranya tidak kita kenal. Dalam lingkungan pembentukan karakter terdapat ruang interaksi orang per orang. Para pendidik memerlukan relasi dengan setiap orang siswanya secara personal, bukan sebagai rombongan. Para guru harus memberikan perhatian kepada person dan menikmati saat-saat melakukan sesuatu bersamanya. Pada saat itu dilakukan terjadilah tindakan saling memberi dan menerima di antara dua orang yang berkomunikasi satu sama lain berdasarkan rasa saling menghormati. Apabila orang dewasa hanya berperan sebagai figur otoritas (seperti petugas polisi, hakim), maka orang muda akan membangun batas-batas dan strategi untuk membela diri dari serangan orang dewasa atas pribadi mereka. Jadi pengembangan kultur sekolah untuk karakter itu penting. Untuk bisa merumuskan sekolah memiliki kultur, kita harus menganalogikan sekolah sebagai sebuah masyarakat berkebudayaan.

Item Type: Book
Divisions: Fakultas Ushuluddin > Program Studi Aqidah Filsafat
Depositing User: Bambang Qomaruzzaman
Date Deposited: 22 Sep 2020 08:17
Last Modified: 22 Sep 2020 08:17
URI: https://etheses.uinsgd.ac.id/id/eprint/33674

Actions (login required)

View Item View Item